Kali ini, gua akan
bercerita, tentang bagaimana pandangan dan kesadaran gua terhadap orang tua.
Sebelumnya, gua mau
tanya deh, orang tua itu di mata kalian seperti apa? Seberapa besar rasa cinta
dan kasih sayang kalian terhadap mereka? Dan apa yang akan kalian usahakan
untuk membuat mereka bangga?
Jadi gini, 6 tahun yang
lalu, saat dimana gua masih sekolah sekaligus mesantren di Ciamis. Gua selalu
beranggapan, kalau mereka tuh gak sayang sama gua. Waktu awal masuk ke pondok,
setelah kemas barang-barang dan merapihkan segala sesuatu di asrama, orang tua
gua langsung pamit pulang. Senyuman dan lambaian tangan mereka, membuat hati gua tercabik-cabik karena betapa
teganya mereka meninggalkan gua begitu saja. Melihat teman-teman yang masih
ditemani oleh orang tua, tingkat ke iri an gua meningkat. Akhirnya gua putuskan
untuk slalu bisa belajar mandiri, tapi di balik itu semua, gua dan anak-anak
rantau lainnya menangis dan slalu merindukan mereka.
Tahun ke tahun, ada
cerita. Hidup gua semakin banyak problema. Gua semakin memikirkan diri sendiri
ketimbang orang tua. Padahal, banyak banget
acara spiritual building yang
tujuannya membentuk dan menyadarkan para santri, tetapi begitu banyak pula,
santri-santri yang terjerat kasus bahkan tidak mengikuti perpisahan. Seharusnya,
gua sebagai anak, apalagi sebagai santri, kudunya punya tujuan, prinsip yang
istiqomah dan menghasilkan prestasi. Tak terasa, 6 tahun sudah, masa sekolah
habis. Gua pulang menuju Jakarta, membawa banyak barang, medali dan syahadah.
Di perjalanan, gua
slalu memikirkan “dapet apa gue selama di pesantren? Prestasi aja enggak, bikin
sebel iya”. Gua memberanikan diri untuk ngobrol sama mereka, minta maaf yang
sebesar-besarnya karena gak menghasilkan apa-apa. Tapi apa yang mereka katakan?
“Gapapa nak, umi sama babeh yakin kalau kamu bakal berkembang dan berpikir
dengan sendirinya. Umi cuek aja sih, kalau ada orang yang mencela atau bahkan mengolok
anak umi yang gak berprestasi. Umi mah, yakin aja kalau kalian semua bisa
berprestasi”. Mendengar kalimat umi, semakin gua berpikir se-jadi jadinya.
Bulan September
kemudian, awal masuk kuliah. Dimana niat dan strategi sudah ter planning dengan baik. Gua ingin
memperbaiki semuanya. Semester 1 pun berlalu, mendapat ip dibawah 3,5 bahkan
melihat nilai B pun membuat hati gua tuh sakiiiiit nya minta ampun. “Oke.
Semester 2 nanti harus lebih baik”. Dan saat ortu gua tau berapa ip dan nilai
gua, mereka cuma senyum dan bilang “gimana si kamu”. Jleb. Gua mengecewakan
ortu. Semester 2, gua mulai memberanikan diri untuk daftar dan mengikuti
berbagai kegiatan diluar kampus. Dari sana, sangat mengajarkan banyak hal.
Prinsip gua, bukan karena ‘label’ nya tapi ‘kualitas dan isi di dalamnya”.
Meski lelah dan membuang banyak waktu, setidaknya memiliki banyak pelajaran dan
ilmu. Bertemu dengan orang-orang yang gak biasa, pikiran dan idenya sangaaaat
jernih, obrolan dan tutur katanya pun tak sembarangan. Karena mereka tahu,
kalau hidup itu berdampingan.
Meski saat itu, uang
kedua orang tua gua mulai berkurang oleh kegiatan-kegiatan yang gua jalanin,
tetapi mereka tersenyum dan sebahagia itu mendengarkan cerita gua. Semakin
kesini, ortu gua slalu mengajarkan sesuatu tanpa berkata atau menyuruh
sekalipun. Yang mereka mau ialah “kepekaan”. Otak ini semakin sadar dan semakin
terkikis melihat perjuangan mencari uang sebegitu susahnya. Setelah mencari
tahu apa sih keinginan mereka, akhirnya gua temukan. meski gak bakal bisa untuk
mengganti seluruh jerih payah hidupnya. Yaitu, agama, berprestasi, kepekaan,
tutur kata, melakukan, memberi, menyayangi dan mencintai mereka. Just it.
Comments
Post a Comment